POLA PENGALIRAN SUNGAI PURBA CISADANE DI KOTA TANGERANG BERDASARKAN NILAI TAHANAN JENIS BATUAN


Abstract
Geological setting of Tangerang City belongs to the western part of the Jakarta Basin. The area is covered by coastal alluvial deposit, delta deposit, and volcanic product. Understanding the distribution and groundwater pattern either in the shallow part or the deep part is one of the basic for a geometric and its groundwater flow in identifying paleo base flow Cisadane River. The result of the aquifer distribution either in the shallow or the deep part this study is approached by the geoelectrical survey, hydrogeological survey in the field and well data. In general, the shallow aquifer developed to downward becoming semi confined aquifer and confined aquifer. Groundwater flow pattern indicated locally cones depression of groundwater level, especially surrounding the city. This depression of groundwater level is considered related with the natural shape of aquifer as lances. However, it was possible to deskription to morfing processing source rock.
Key word : Jakarta Basin, Groundwater flow pattern, aquifer and groundwater

Abstrak

Secara geologi, Kota Tangerang termasuk dalam Cekungan Jakarta bagian Barat, yang tersusun oleh endapan aluvium pantai, endapan delta dan sebagian tersusun dari material gunungapi.. Kegiatan penelitian untuk mengetahui sebaran dan pola pengaliran airtanah baik dangkal ataupun dalam yang merupakan salah satu dasar geometri tempat dan mengalirnya sebagai dasar untuk mengetahui pola mengaliran sungai purba Sungai Cisadane.
Pendekatan survey geolistrik, pengamatan hidrogeologi di lapangan dan kompilasi dengan data pemboran telah menghasilkan sebaran (meski geometri 2 dimensi) akifer baik dangkal maupun dalam. Umumnya, akifer dangkal berkembang ke arah dalam menjadi akifer semi tertekan dan akhirnya tertekan. Pola pengaliran menunju kkan depresi konus muka airtanah setempat terutama pada sekitar kota. Kondisi demikian diduga bentuk alamiah akifer berupa lensa dan bisa mendeskripsikan pembentukan batuan asal
Kata kunci: Cekungan Jakarta, Pola pengaliran, batuan pembawa air (aquifer) dan
airtanah.

1.      PENDAHULUAN

Sejalan dengan pesatnya perkembangan pembangunan pelbagai sektor di Kota-kota besar dan kota Tangerang termasuk diantaranya, dapat memacu kebutuhan sumberdaya alam dan kemungkinan timbulnya permasalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan hingga persoalan sosial ekonomi. Salah satu kebutuhan adalah ketersediaan adanya sumber air sebagai faktor utama untuk
berlangsungnya kegiatan proses produksi, menjadi sangat dominan sehingga diperlukan adanya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air secara selektif sesuai dengan kemampuan dan kapasitas sumberdaya air yang dimiliki.
Air yang kita gunakan sehari-hari telah menjalani siklus meteorik, yaitu telah melalui proses penguapan (presipitation) dari air laut, danau maupun sungai; lalu mengalami kondensasi di atmosfer dan kemudian menjadi air hujan yang turun ke permukaan bumi. Air hujan yang turun ke permukaan bumi tersebut, ada yang langsung mengalir di permukaan bumi (run off) dan ada yang meresap ke bawah permukaan bumi (infiltration).
Daerah Tangerang dan sekitarnya telah banyak diteliti seperti oleh : Effendi, A.C., etc., 1974 ; Suyitno dan Yahya, 1974 ; Turkandi, T. etc, 1992 untuk
pemetaan Geologi regional, kemudian IWACO, 1986 ; Tirtomihardjo, H., dkk.,1996-2000; Hadipurwo, Haryadi, T., Fauzi, M., 1994; Haryadi, T., dkk., 1996, ;Hadipurwo, S., dan Hadi, S., 2000 ; Prawoto, N., 2001 untuk penelitian Konservasi Airtanah Daerah Jakarta dan sekitarnya. Dan Sukardi, P., 1986 ; Murtianto, E., etc., 1994, Hadian,dkk, 2006 melakukan pemetaan hidrogeologi
detail. Kota Tangerang menjadi sangat penting dan menarik untuk dilakukan. Tulisan ini mencoba mengungkap sebaran dan pola aliran airtanah yang kemudian dapat memprediksi pola aliran purba, sehingga diperoleh kejelasan geometri akifer dan potensinya.

2.      GEOLOGI

Jenis litologi, stratigrafi batuan dan kondisi struktur geologi yang membentuk daerah kajian dan sekitarnya dikenal dengan sebutan Tangerang High  (Suyitno dan Yahya, 1974). Tinggian ini terbentuk oleh batuan Tersier yang memisahkan cekungan Jawa Barat Utara di bagian Barat dengan cekugan Sunda di bagian timur. Tinggian ini dicirikan oleh kelurusan bawah permukaan berupa
lipatan dan patahan nomal yang berarah Utara-Selatan. Di bagian Timur patahan normal tersebut terbentuk cekungan pengendapan yang disebut dengan Jakarta Sub Basin.
Cekungan Jakarta tersebut mempunyai ciri adanya endapan aluvial yang tebal, sedang cekungan di Barat Tangerang High memiliki ciri endapan pantai dan delta. Struktur-struktur tersebut pada saat ini sulit dijumpai di permukaan karena pada saat ini endapan Kuarter yang berumur lebih muda telah menutupi lapisan batuan tersebut. Endapan Kuarter yang menutupi batuan tersebut berupa batuan Volkanik yang berasal dari G. Gede-Pangrango dan G. Salak. Hampir seluruh dari daerah kajian ditutupi oleh batuan volkanik yang berasal dari Gunung Gede - Pangrango dan Gunung Salak serta sebagian kecil ditutupi oleh endapan aluvial.:
a. Satuan Batuan Tuf Banten Atas / Tuf Banten
Satuan ini terdiri atas lapisan tuf, tuf batu apung dan batu pasir tufaan yang berasal dari letusan Gunung Rawa Danau. Tuf tersebut menunjukkan keadaan yang lebih asam (pumice) dibandingkan dengan batuan volkanik yang diendapkan sesudahnya. Pada bagian atas satuan tersebut menunjukkan adanya perubahan kondisi pengendapan dari di atas permukaan air menjadi di bawah
permukaan air. Satuan ini berumur Plio – Pleistosen atau sekitar dua juta tahun yang lalu.
b. Endapan Kipas Aluvium Volkanik Muda
Endapan ini terdiri atas material batupasir dan batu lempung tufan, endapan lahar, dan konglomerat. Ukuran butiran pada endapan kipas aluvial ini berubah menjadi semakin halus ke arah utara. Satuan ini terbentuk oleh material endapan volkanik yang berasal dari gunungapi di sebelah selatan Kabupaten Tangerang seperti Gunung Salak dan Gunung Gede - Pangrango. Batuan ini
diendapkan pada umur Pleistosen (20.000 – dua juta tahun yang lalu). Kipas aluvial volkanik tersebut terbentuk pada saat gunungapi menghasilkan material volkanik dengan jumlah besar. Kemudian ketika menjadi jenuh oleh air, tumpukan material tersebut bergerak ke bawah dan melalui lembah. Ketika mencapai tempat yang datar material tersebut akan menyebar dan membentuk endapan seperti kipas yang disebut dengan kipas aluvial.
c. Endapan Pantai dan Endapan Pematang Pantai
Endapan batuan ini berasal dari material batuan yang terbawa oleh aliran sungai dan berumur antara 20.000 tahun yang lalu hingga saat ini. Endapan tersebut tersusun oleh material lempung, pasir halus dan kasar, dan konglomerat serta mengandung cangkang molusca. Endapan aluvial tersebut dapat membentuk endapan delta, endapan rawa, endapan gosong pasir pantai, dan endapan sungai
dengan bentuk meander atau sungai teranyam.
d. Endapan Aluvium
Endapan ini terdiri atas lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah yang berumur Kuarter. Tersebar pada daerah pedataran serta sekitar aliran sungai.
3. METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu pemetaan detil geologi dan survey muka airtanah dan survey geolistrik serta analisis data hasil pemboran. Pemetaan geologi dilaksanakan dengan sistem travers kompas dan pendeskrisian atas batuan yang tersingkap. Inventarisasi batuan-batuan yang dapat berfungsi sebagai akifer dan lapisan batuan yang bersifat impermeabel atau tidak
meluluskan air. Survey lapangan sekaligus melakukan pengukuran muka airtanah pada sumur-sumur gali (akifer dangkal). Metoda geolistrik adalah salah satu metoda geofisika untuk menyelidiki kondisi bawah permukaan, yaitu dengan mempelajari sifat aliran listrik pada batuan di bawah permukaan bumi. Kurang lebih 200 titik survey geolistrik telah dilaksanakan. Kompilasi dan korelasi antara hasil analisis ketiga survey tersebut dilakukan untuk memperoleh gambaran sebaran dan pola aliran airtanah akifer tak tertekan dan akifer tertekan. Untuk mempermudah kejelasan hasil analisa, hasil
penelitian ditampilkan dalam bentuk peta.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Akifer yang berkembang pada Kecamatan Batuceper adalah litologi pasir
tufaan. Adapun ketebalan dari akifer tersebut beragam, yaitu akifer dangkal
(kedalaman kurang dari 50 m) memiliki ketebalan mulai dari 5 m – 25 m dan
akifer dalam (kedalaman lebih dari 50 m) memiliki ketebalan 4 m – 80 m. Akifer
dangkal (kedalaman kurang 50 m) adalah akifer bebas (tak tertekan) dan pada
tempat yang semakin dalam berubah menjadi akifer semi tertekan. Sedangkan
akifer dalam (kedalaman lebih 50 m) merupakan akifer tertekan yang dibatasi
oleh dua lapisan kedap air (impermeable layer) pada bagian atas dan bawahnya.
Penampang G-H merupakan suatu contoh sebaran vertikal dalam kaitan dengan
sifat dan ketebalan akifer (Gambar 1).
Sementara itu, akifer yang berkembang di Kecamatan Benda pun berupa
litologi pasir tufaan. Adapun ketebalan dari akifer tersebut beragam, yaitu akifer
dangkal (kedalaman kurang dari 50 m) memiliki ketebalan mulai dari 5 m – 25 m
dan akifer dalam (kedalaman lebih dari 50 m) memiliki ketebalan 4 m – 80 m.
Akifer dangkal (kedalaman kurang 50 m) adalah akifer bebas (tak tertekan) dan
pada tempat yang semakin dalam berubah menjadi akifer semi tertekan.
Sedangkan akifer dalam (kedalaman lebih 50 m) merupakan akifer tertekan yang
dibatasi oleh dua lapisan kedap air (impermeable layer) pada bagian atas dan
bawahnya.
Berdasarkan hasil pengukuran lapangan di Kecamatan Jatiuwung dan
Periuk, kemudian dibuat penampang tegak tahanan jenis yang disajikan pada
Gambar 2 dan 3. Informasi yang bisa didapat dari penampang tegak tahanan jenis
adalah nilai tahanan jenis pada tiap kedalaman. Hasil dari pengolahan data
lapangan, diperoleh bahwa tahanan jenis pada daerah penelitian dapat
dikelompokan ke dalam 5 kelompok nilai tahanan jenis. Kelompok nilai tahanan
jenis tersebut, yaitu :
· Kelompok nilai tahanan jenis 0 – 5 Ohm m.
· Kelompok nilai tahanan jenis 5 – 10 Ohm m.
· Kelompok nilai tahanan jenis 10 – 15 Ohm m.
· Kelompok nilai tahanan jenis 15 – 30 Ohm m.

· Kelompok nilai tahanan jenis >30 Ohm m.
Kelompok nilai tahanan jenis tersebut, kemudian diinterpretasikan
berdasarkan karakteristik fisiknya untuk memperoleh kemungkinan jenis litologi,
seperti dibawah ini :
· Nilai tahanan jenis 0 – 5 Ohm m kemungkinan memiliki litologi
lempung.
· Nilai tahanan jenis 5 – 10 Ohm m kemungkinan memiliki litologi
lempung pasiran.
· Nilai tahanan jenis 10 – 15 Ohm m kemungkinan memiliki litologi tuf
pasiran.
· Nilai tahanan jenis 15 – 30 Ohm m kemungkinan memiliki litologi
batupasir lempungan.
· Nilai tahanan jenis >30 Ohm m kemungkinan memiliki litologi
batupasir.
Sedangkan kedalaman penetrasi yang diperoleh dari hasil pengukuran
lapangan adalah bervariasi tergantung kondisi lapangan, dengan penetrasi
terdalam sampai 160 m. Kedalaman dari kelompok nilai resistivitas yang
diperoleh dari hasil pengukuran lapangan adalah sebagai berikut :
· Kelompok nilai tahanan jenis 0 – 5 Ohm m diperoleh mulai pada
kedalaman 3 m bmt (lokasi MR1) sampai ditemukan pada kedalaman
>120 m bmt (lokasi P11).
· Kelompok nilai tahanan jenis 5 – 10 Ohm m diperoleh mulai pada
kedalaman 4 m bmt (lokasi SL3) sampai ditemukan pada kedalaman
100 m bmt (lokasi TM5).
· Kelompok nilai tahanan jenis 10 – 15 Ohm m diperoleh mulai pada
kedalaman 0.75 m bmt (lokasi MR5) sampai ditemukan pada kedalaman
110 m bmt (lokasi P2).
· Kelompok nilai tahanan jenis 15 – 30 Ohm m diperoleh mulai pada
kedalaman 0 m bmt (lokasi VMP1) sampai ditemukan pada kedalaman
> 90 m bmt (lokasi VMP3).
· Kelompok nilai tahanan jenis >30 Ohm m diperoleh mulai pada
kedalaman 0 m bmt (lokasi DPT5) sampai ditemukan pada kedalaman >
50 m bmt (lokasi DPT5).
a. Peta Kontur Tahanan Jenis
Peta kontur tahanan jenis dihasilkan berdasarkan data yang diperoleh dari
penampang tegak tahanan jenis berupa nilai tahanan jenis dan kedalamannya.
Maka dibuatlah peta kontur tahanan jenis dengan interval 2.5 Ohm m masingmasing
pada kedalaman 15m, 30m, 45m, 60m, dan 75m. Pada peta kontur
tahanan jenis ini memberikan informasi nilai tahanan jenis batuan pada
Kecamatan Jatiuwung dan Periuk.
· Kedalaman 15 m
Pada kedalaman ini, penyebaran nilai resistivitas bervariasi kurang dari 12
Ohm m; 15 – 20 Ohm m yang kemungkinan dapat berpotensi sebagai akifer;
dan lebih besar dari 20 Ohm m. Dilihat dari keberadaan kontur nilai
resistivitas yang bervariasi ada yang rapat dan renggang serta ada yang
tertutup dan terbuka, hal ini menunjukan bahwa kondisi bawah permukaan
daerah Kecamatan Priuk dan Jatiuwung tidak merata, dan kebanyakan lapisan
batuan tidak berhubungan secara lateral maupun vertical. Nilai resistivitas 15
– 20 Ohm m terdapat di daerah :
- Gandasari
- Cikoneng
- Periuk Jaya
- Jatake
· Kedalaman 30 m
Bila kita tinjau posisi yang lebih dalam yaitu pada kedalaman 30 meter
dibawah permukaan tanah, pola umum hampir sama disini terdapat kontur
yang lebih rapat untuk nilai di atasd 25 Ohm meter terutama di sebelah barat –
barat laut Vila Mutiara Pluit dan sebelah selatan daerah kajian hanya
cakupannya lebih sempit dibandingkan dengan yang utara. Lapisan batuan
dengan nilai tahanan jenis 15 – 20 Ohm meter cukup luas. Pada kedalaman
ini, penyebaran nilai resistivitas 15 – 20 ohm m yang berpotensi sebagai
akifer, terdapat pada daerah : Cibodas, Jatake, Cikoneng, Gembor,
Keroncong, Gerbang Raya, Villa Mutiara
· Kedalaman 45 m
Pada kedalaman ini Pola kontur resisitivitas tidak jauh berbeda dengan pada
posisi 30 meter di bawah permukaan tanah, hanya nilai resisitivitas di atas 25
banyak tersebar dengan bentuk kontur tertutup, hal ini meninjukkan bentuk
tubuh batuan banyak yang berbentuk lensa-lensa. Penyebaran nilai resistivitas
15 – 20 ohm m yang berpotensi sebagai akifer, terdapat di daerah : Cibodas,
Cikoneng, Jatake, Villa Mutiara, Periuk Jaya
· Kedalaman 60 m
Pada kedalaman ini pola kontur cukup merata dan agak renggangg, distribusi
lapisan cukup merata, bentuk lensa sedikit terdapat dengan distribusi nilai
resisitivitas berkisar dari 30 hingga 90 Ohm meter.
· Kedalaman 75 m
Pada kedalaman ini kerapatan kontur resisitivitas sedikit lebih rapat dan
bentuk lensa lapisan batuan terdapat pada beberapa tempat dengan luas yang
lebih besar dibandingkan pada posisi kedalaman 60 meter; penyebaran nilai
resistivitas 15 – 20 ohm m yang berpotensi sebagai akifer, terdapat pada
daerah : Cibodas, Jatake, Cikoneng, Gerbang raya, Villa Mutiara, Periuk
Jaya
Morfologi pada endapan aluvial pantai umumnya datar sampai sedikit
bergelombang. Dari segi kuantitas, airtanah pada endapan aluvial pantai dapat
menjadi sumber airtanah yang baik terutama pada lensa-lensa batupasir lepas.
Kondisi airtanah endapan aluvial pantai banyak ditentukan kondisi geologi
di hulunya. Endapan aluvial ini dapat menjadi tebal jika cekungan yang
membatasi terus menurun karena beban endapannya, misalnya dibatasi oleh
sesar/patahan turun. Akifer pada sistem ini tersusun oleh endapan pasir halus yang
belum terkompaksi dan setempat terdapat airtanah segar.
b. Karakteristik pola pengaliran dan fisik airtanah
Pada peta pola aliran airtanah dangkal nampak bahwa terbentuk depresi
konus airtanah terutama di sekitar kota Tangerang. Beberapa hal mungkin
menjadi penyebab dari kondisi tersebut yaitu akibat perkembangan secara alami
geometri akifer dari endapan delta yang cenderung membentuk lensa-lensa
barupasir. Sementara itu, depresi aliran juga terbentuk pada zona yang hampir
sama terjadi pada peta pola aliran air tanah dalam. Selain kondisi yang sama
dengan kondisi alamiah berupa endapan delta dengan lensa-lensanya.
Sebagai tambahan, berdasarkan pola sebaran batuan sangat
memungkinkan bahwa sungai Cisadane purba bukan berada di posisi sekarang
dikarenakan dari sebaran tahanan jenis yang memungkinkan bahwa sungai
Cisadane bergerak menuju timur dari pola yang ada. Dan berdasarkan sebaran
lensa-lensa yang bisa estimasi sebagai pola aliran sungai purba.
5. KESIMPULAN
Akifer yang berkembang pada daerah penelitian adalah litologi pasir
tufaan. Sementara itu, akifer yang berkembang di Kecamatan Benda pun berupa
litologi pasir tufaan. Tipologi akifer yang berkembang pada Kecamatan ini adalah
Sistem Endapan Aluvial Pantai. Batuan penyusun akifer ini umumnya berupa
lempung, pasir dan kerikil hasil dari erosi, dan transportasi dari batuan di bagian
hulunya.
Pola pengaliran airtanah relatif ke arah timur dan terbentuk depresi konus
aliran airtanah terutama di kota Tangerang. Kondisi demikian menunjukkan dua
penyebab yang memungkin yaitu perkembangan lensa-lensa secara alamiah
terbentuk pada daerah tersebut atau pengambilan airtanah yang berlebih khusus di
zona tersebut. Untuk itu, Kawasan depresi airtanah perlu ditelaah lebih lanjut
guna diambil langkah kebijakan terkait dengan konservasi airtanah di Kota
Tangerang.
Berdasarkan pola sebaran batuan sangat memungkinkan bahwa sungai
Cisadane purba bukan berada di posisi sekarang dikarenakan dari sebaran
tahanan jenis yang memungkinkan bahwa sungai Cisadane bergerak menuju timur
dari pola yang ada. Dan berdasarkan sebaran lensa-lensa yang bisa estimasi
sebagai pola aliran sungai purba.

DAFTAR PUSTAKA
Effendi A.C., 1974, Peta Geologi Lembar Bogor Skala 1 : 100.000, Pusat
Pengembangan dan Penelitian Geologi, Bandung
Hadipurwo, S., dan Hadi, S., 2000, Konservasi Airtanah Daerah Jakarta –
Bogor, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung.
Haryadi, T., dkk., 1996, Konservasi Airtanah Wilayah Jakarta – Bogor –
Tangerang – Bekasi, Direktorat Geologi Tata Lingkungan,
Bandung.
IWACO, 1986, Jabotabek Water Resources Management Study, Directorate
General of Water Resources Development, Jakarta.
Rusmana, 1991, Peta geologi lembar Serang Skala 1 : 100.000, Pusat
Pengembangan dan Penelitian Geologi, Bandung
Sukardi, P., 1986, Peta Hidrogeologi Indonesia Skala 1 : 250.000 Lembar
Jakarta, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "POLA PENGALIRAN SUNGAI PURBA CISADANE DI KOTA TANGERANG BERDASARKAN NILAI TAHANAN JENIS BATUAN"

Post a Comment